Main Article Content

Abstract

Abstract
Regional leadership plays a crucial role in determining the direction of development and the well-being of society, with each leader implementing different strategies to achieve these goals. Dedi Mulyadi adopts a populist leadership style, emphasizing direct interaction with the people and a culture-based approach, while Tri Rismaharini prioritizes managerial leadership, focusing on bureaucratic efficiency and regulation-driven infrastructure development. Policies implemented by Dedi Mulyadi, such as the eviction of riverside settlements and culture-based economic empowerment, have had positive impacts on urban governance but have also drawn criticism for perceived lack of consideration for social aspects affecting displaced residents. Meanwhile, Tri Rismaharini's policies, including urban revitalization, the "Economic Heroes" program, and the closure of Gang Dolly's red-light district, have contributed to urban transformation but faced challenges in relocation efforts and the sustainability of their impacts. Although many studies have discussed the success of both leaders' programs, there is limited research examining their long-term effectiveness and the contribution of their policies to adaptive regional governance. Additionally, there has been little analysis comparing how these two leadership models can be more optimally applied in the context of regional governance in Indonesia. Therefore, this study aims to fill these gaps by exploring how populist and managerial leadership strategies can contribute to more sustainable regional governance capable of addressing future social and bureaucratic challenges.
Keywords: Public Policy, Regional Leadership, Managerial, Governance, Populist.

Abstrak
Kepemimpinan daerah memainkan peran penting dalam menentukan arah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, dengan setiap pemimpin menerapkan strategi yang berbeda untuk mencapai tujuan tersebut. Dedi Mulyadi menerapkan kepemimpinan populis, yang menitikberatkan interaksi langsung dengan rakyat serta pendekatan berbasis budaya, sementara Tri Rismaharini mengedepankan kepemimpinan manajerial, yang berfokus pada efisiensi birokrasi serta pembangunan infrastruktur berbasis regulasi. Kebijakan yang diterapkan oleh Dedi Mulyadi, seperti penggusuran pemukiman bantaran sungai dan pemberdayaan ekonomi berbasis budaya, memiliki dampak positif bagi tata kelola kota namun juga menuai kritik karena dinilai kurang memperhatikan aspek sosial warga terdampak. Sementara itu, kebijakan Tri Rismaharini, seperti revitalisasi kota, program Pahlawan Ekonomi, dan penutupan lokalisasi Gang Dolly, berkontribusi terhadap transformasi perkotaan tetapi menghadapi tantangan dalam relokasi serta keberlanjutan dampaknya. Meskipun banyak penelitian telah membahas keberhasilan program kedua pemimpin, masih terbatas studi yang mengkaji efektivitas jangka panjang serta kontribusi kebijakan mereka terhadap pemerintahan daerah yang adaptif. Selain itu, belum banyak analisis yang membandingkan bagaimana kedua model kepemimpinan ini dapat diterapkan secara lebih optimal dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengeksplorasi bagaimana strategi kepemimpinan berbasis populisme dan manajerial dapat berkontribusi terhadap pemerintahan daerah yang lebih berkelanjutan serta mampu menghadapi tantangan sosial dan birokrasi di masa depan.
Kata kunci: Kebijakan publik, Kepemimpinan daerah, Manajerial, Pemerintahan, Populis.

Article Details