Main Article Content

Abstract

Munculnya kerangka kerja standar berkelanjutan mencerminkan meningkatnya kepedulian global terhadap keberlanjutan. Namun, perumusan dan penegakan standar ini jauh dari proses yang netral atau diterima secara universal. Standar itu muncul dalam jaringan relasi kekuasaan, produksi pengetahuan melalui kontestasi yang sengit, serta pertimbangan geopolitik. Korporasi sering memimpin inisiatif penetapan standar, memanfaatkan sumber daya keuangan dan jangkauan global mereka untuk memengaruhi hasil yang selaras dengan model bisnis mereka. Selain itu, lembaga multilateral memainkan peran penting dalam membingkai tolok ukur global. Lembaga-lembaga ini diharapkan untuk mempertahankan netralitas dan inklusivitas tetapi secara inheren dibentuk oleh kepentingan dan ideologi anggotanya yang paling berpengaruh, biasanya negara-negara kaya dan perusahaan besar; ini menimbulkan pertanyaan tentang inklusivitas dan legitimasi standar ini, terutama bagi pemangku kepentingan di Negara Selatan yang mungkin tidak memiliki perwakilan dalam forum ini. Dominasi paradigma ilmiah Barat secara historis diposisikan sebagai otoritas tertinggi tentang keberlanjutan mencerminkan dan memperkuat ketidakseimbangan kekuatan global. Peneliti berusaha mengeksplorasi interaksi antara kekuasaan, produksi pengetahuan, dan kepentingan politik dalam mengembangkan dan menerapkan standar berkelanjutan. Adapun studi ini menggunakan kerangka metodologi kualitatif untuk menyelidiki bagaimana standar berkelanjutan muncul, kepentingan siapa yang mereka layani, dan implikasinya terhadap tata kelola global yang adil. Temuan ini mengungkapkan bahwa asimetri kekuasaan, produksi pengetahuan yang digerakkan oleh para ahli dan kepentingan geopolitik yang secara signifikan memengaruhi standar berkelanjutan. Hal ini meningkatkan kekhawatiran tentang legitimasi dan inklusivitas standar keberlanjutan yang diberlakukan secara universal.


Kata kunci: Dinamika kekuasaan, standar berkelanjutan, produksi pengetahuan, politik global, tata kelola.

Article Details